Review: Sherlock Holmes 2 : A Game of Shadows (2011)

Walaupun terasa datar di beberapa bagian cerita, serta kurangnya chemistry yang terbentuk antara Robert Downey, Jr. serta dua lawan mainnya, Jude Law dan Rachel McAdams, Guy Ritchie berhasil memberikan sebuah sentuhan yang unik dalam penceritaan Sherlock Holmes (2009) yang kemudian berhasil membuat film tersebut mampu tampil menarik bagi banyak penonton film dunia, khususnya bagi mereka yang memang gemar akan plot-plot kisah bernuansa detektif dan misteri. Diinspirasi dari cerita pendek karya Arthur Conan Doyle yang berjudul The Final Problem (1893), sekuel dari film yang sukses mengumpulkan pendapatan sebesar lebih dari US$500 juta selama masa edarnya tersebut dan diberi judul Sherlock Holmes: A Game of Shadows akan memperkenalkan penonton pada musuh terbesar Sherlock Holmes, Professor James Moriarty. Premis yang menjanjikan sebuah pertemuan antara karakter protagonis utama dengan karakter antagonis utama jelas memang akan menjadi sebuah premis yang menggiurkan. Namun, apakah Guy Ritchie berhasil membuat Sherlock Holmes: A Game of Shadows mampu tampil lebih baik dari prekuelnya?

Sayangnya, jawaban untuk pertanyaan diatas adalah tidak. Posisi Michael Robert Johnson, Anthony Peckham dan Simon Kinberg sebagai penulis naskah pada Sherlock Holmes yang kini digantikan oleh duo Kieran dan Michele Mulroney ternyata tidak membuat susunan naskah cerita Sherlock Holmes: A Game of Shadows mampu tampil lebih baik. Sherlock Holmes: A Game of Shadows pada dasarnya memiliki formula yang sama dengan kisah film prekuelnya. Sayangnya, Sherlock Holmes: A Game of Shadows sama sekali tidak menyimpan sebuah misteri yang cukup menarik untuk ditampilkan. Hasilnya, film ini hanya berputar di kisah mengenai persahabatan dua karakter utamanya serta perseteruan antara karakter Sherlock Holmes dan Professor James Moriarty… yang pada kebanyakan bagian diceritakan dengan jalan yang cukup membosankan.

Dalam Sherlock Holmes: A Game of Shadows, penonton akan dihadapkan pada segala permasalahan yang sedang dialami oleh Sherlock Holmes (Downey, Jr.). Melanjutkan kisah romansa dari seri sebelumnya, Holmes masih belum dapat melepaskan hasrat kasihnya terhadap Irene Adler (Rachel McAdams) yang sekali lagi kembali mencoba untuk mengelabui dirinya. Kemudian ada permasalahan yang terjadi dalam persahabatannya dengan John Watson (Jude Law). Entah mengapa, Holmes rasa kurang begitu nyaman dengan pernikahan yang akan dialami oleh Watson dengan Mary Morstan (Kelly Reilly). Bukan karena ia kurang yakin bahwa Mary adalah wanita yang tepat untuk Watson, namun lebih karena Watson yang bertekad akan melepaskan segala penyelidikan yang ia lakukan bersaman dengan Holmes selepas pernikahannya kelak.

Pun begitu, Watson terpaksa sekali lagi harus bergabung bersama Holmes dalam sebuah penyelidikan setelah Holmes mengungkapkan bahwa dirinya dan Mary kini sedang berada dalam incaran Professor James Moriarty (Jared Harris) untuk kemudian disingkirkan karena Holmes sedang berusaha untuk menggagalkan rencana Moriarty untuk mengadu domba beberapa negara agar tercipta sebuah perang dalam skala yang besar. Lewat penyelidikan yang mereka lakukan terhadap Simza (Noomi Rapace), seorang wanita gypsy yang saudaranya diduga terlibat dengan komplotan yang dibentuk oleh Moriarty, Holmes, Watson dan Simza akhirnya secara perlahan mulai berhasil membuka satu-persatu rencana Moriarty untuk kemudian berusaha menggagalkannya.

Dengan durasi sepanjang 128 menit, Sherlock Holmes: A Game of Shadows terasa bagaikan sebuah perjalanan yang terasa begitu panjang dengan tanpa kehadiran banyak momen-momen segar yang dapat memberikan penontonnya sebuah daya tarik yang sama menarik dan menegangkannya seperti yang dahulu pernah diberikan oleh prekuelnya. Permasalahan utama terletak pada minimnya konflik misteri yang disajikan dalam film ini. Penonton semenjak awal telah mengetahui bahwa tugas utama Holmes dan Watson adalah untuk mengamankan Moriarty… dan hal itulah yang dilakukan Holmes dan Wqatson di sepanjang film. Guy Ritchie mampu menampilkan petualangan tersebut dengan tampilan visual dan efek yang cukup memuaskan, namun cara penceritaan yang tidak begitu berbeda dengan seri pertama film ini membuat Sherlock Holmes: A Game of Shadows terasa berjalan terlalu monoton.

Masih seperti film pertamanya, Ritchie juga masih menampilkan visual jalan pemikiran karakter Sherlock Holmes ketika ia sedang berusaha memecahkan masalah. Sayang, tidak seperti film pertamanya, kali ini tampilan visual tersebut lebih terasa bagaikan sebuah tambahan adegan biasa saja daripada terkesan sebagai sebuah presentasi yang spesial. Untungnya, chemistry yang tercipta antara Downey, Jr. dan Law dalam Sherlock Holmes: A Game of Shadows telah berkembang begitu kuat. Momen-momen komedi yang coba dihadirkan kedua karakter tersebut juga seringkali berhasil dieksekusi, walaupun masih belum mampu menghadirkan kesegaran yang sama seperti yang dihadirkan Sherlock Holmes sebelumnya.

Walaupun memiliki sejumlah plot cerita, fokus penceritaan Sherlock Holmes: A Game of Shadows tidak pernah menjauh dari sosok seorang Sherlock Holmes. Bahkan, seringkali karakter Sherlock Holmes terasa bagaikan terlalu banyak hadir dalam jalan cerita tanpa adanya esensi yang begitu berarti – mirip dengan apa yang terjadi pada karakter Captain Jack Sparrow pada Pirates of the Caribbean: At World’s Ends (2007). Akibatnya, karakter Sherlock Holmes seringkali terasa hadir tanpa kharisma dan lebih banyak bergumam tanpa arti dalam setiap dialognya. Downey, Jr. telah semakin erat dengan perannya sebagai seorang Sherlock Holmes. Sama seperti semakin eratnya karakter John Watson melekat pada Jude Law yang juga mampu menampilkan kemampuan akting yang menghibur.

Sayang sekali Sherlock Holmes: A Game of Shadows terasa kurang begitu menggali kehadiran karakter Professor James Moriarty di dalam jalan ceritanya. Sebagai seorang karakter antagonis utama – dan akan menjadi musuh bebuyutan dari karakter Sherlock Holmes – karakter Moriarty mendapatkan bagian cerita yang terlalu tersembunyi di film ini. Yang semakin membuat kehadiran karakter Moriarty terasa sia-sia adalah permainan akting Jared Harris yang begitu mampu untuk memberikan kesan dingin dan sadis pada diri Moriarty. Seandainya momen-momen perseteruan antara karakter Holmes dan Moriarty lebih diperbanyak, mungkin Sherlock Holmes: A Game of Shadows akan mampu tampil lebih memikat dan menegangkan lagi.

Selain karakter Holmes, Watson dan Moriarty, Sherlock Holmes: A Game of Shadows memberikan ruang yang terlalu sempit untuk karakter-karakter lainnya untuk ditampilkan secara lebih besar, termasuk dengan kehadiran karakter Simza yang diperankan oleh Noomi Rapace yang terasa bagaikan hanya tempelan belaka. Tata musik arahan Hans Zimmer juga lebih sering terasa bagaikan versi lembut dan kurang menggugah dari tata musik yang dahulu ia buat untuk seri sebelumnya. Sherlock Holmes: A Game of Shadows mungkin mampu tampil unggul dalam tampilan visual dan efek serta penampilan para pemerannya yang meyakinkan. Namun dari sisi naskah cerita, karakterisasi dan cara Guy Ritchie menyampaikan kisah film ini, Sherlock Holmes: A Game of Shadows sangat terasa sebagai sebuah bagian kisah yang kehilangan begitu banyak greget kesenangan yang dahulu pernah dibawakan oleh prekuelnya.sumber

0 comments:

Komentar